Simak Fakta – Thomas Trikasih Lembong, yang dikenal sebagai Tom Lembong, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait impor gula pada periode 2015-2016, saat dia menjabat sebagai Menteri Perdagangan Indonesia. Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Agung menyatakan bahwa Lembong terlibat dalam kebijakan impor gula yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang mengakibatkan kerugian negara. Namun, Lembong dan tim kuasa hukumnya merasa keberatan dengan penetapan tersebut dan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kuasa hukum Lembong, Zaid Mushafi, menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya sangat aneh, mengingat selama masa jabatannya sebagai Menteri Perdagangan, Lembong tidak pernah menerima teguran dari Presiden Joko Widodo, yang memimpin pemerintah saat itu. “Pada faktanya, selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan, pemohon tidak pernah mendapat teguran dari Presiden yang menjabat saat itu,” ujar Zaid dalam sidang gugatan praperadilan yang digelar pada Senin, 18 November 2024. Ia menilai bahwa ini menunjukkan bahwa segala keputusan yang diambil oleh Lembong selama menjabat sebagai menteri telah disetujui dan diafirmasi oleh Presiden, yang merupakan kepala negara dan pimpinan langsung Lembong.
Zaid Mushafi menegaskan bahwa kebijakan impor gula yang diambil oleh Lembong telah disetujui oleh Presiden, sehingga keputusan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Presiden, bukan hanya tanggung jawab pribadi Lembong sebagai Menteri Perdagangan. Menurutnya, penetapan Lembong sebagai tersangka tidak sah karena tidak ada bukti permulaan yang cukup untuk membenarkan tindakan hukum tersebut. Dalam gugatan praperadilan yang diajukan, Zaid merujuk pada Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan MK RI Nomor 21/PUU-XII/2014 yang mengatur tentang persyaratan bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ia juga mengkritik tuduhan kerugian negara sebesar Rp400 miliar yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung, karena pernyataan tersebut tidak didasarkan pada hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut keterangan dari Kejaksaan Agung, dalam peristiwa yang terjadi pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) untuk memenuhi kebutuhan stok gula nasional dan menjaga stabilitas harga. Dalam surat tersebut, PT PPI diminta untuk bekerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton. Kejaksaan Agung mengklaim bahwa seharusnya dalam rangka memenuhi kebutuhan stok gula dan menjaga kestabilan harga, yang diimpor adalah gula kristal putih, dan impor hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI. Namun, menurut penyelidikan Kejaksaan Agung, dengan persetujuan Lembong, PT PPI malah mengimpor gula kristal mentah yang seharusnya tidak memenuhi ketentuan.
Sehubungan dengan hal ini, tim kuasa hukum Lembong menilai bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan berupaya melakukan kriminalisasi terhadap kliennya. Mereka menilai bahwa tuduhan terhadap Lembong tidak didasarkan pada bukti yang kuat, melainkan lebih pada dugaan semata yang belum dapat dibuktikan kebenarannya melalui audit yang sah. Oleh karena itu, mereka memohon agar pengadilan memutuskan bahwa penetapan tersangka terhadap Lembong adalah tidak sah dan harus dibatalkan.
Sidang gugatan praperadilan ini akan berlanjut dengan proses eksepsi atau sanggahan pada Selasa, 19 November 2024, dan penyerahan bukti pada Rabu, 20 November 2024. Sidang selanjutnya akan menghadirkan saksi ahli pada Kamis, 21 November 2024, untuk memberikan keterangan terkait kasus ini. Pihak Lembong berharap agar proses praperadilan ini memberikan keputusan yang adil dan membuktikan bahwa klien mereka tidak bersalah dalam kasus dugaan korupsi impor gula ini.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan mantan pejabat tinggi pemerintah, yang selama ini dikenal memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan di sektor perdagangan dan perekonomian Indonesia. Selain itu, kasus ini juga mencerminkan pentingnya transparansi dalam kebijakan impor dan pengelolaan sumber daya negara, serta menuntut pertanggungjawaban pejabat yang terlibat dalam keputusan-keputusan tersebut. Pihak yang terkait berharap agar kasus ini segera menemukan titik terang, baik dalam proses praperadilan maupun dalam pengadilan yang lebih lanjut.
Tinggalkan Balasan